BERITA TENTANG KEPADATAN PENDUDUK
"MASALAH KEPADATAN PENDUDUK MENGHADANG"
KOMPAS.com - Hari
Selasa, 10 Maret lalu, Kota Bekasi genap berusia 12 tahun. Jikalau
diibaratkan dengan manusia, Kota Bekasi berada pada masa praremaja,
alias anak baru gede (ABG). Namun, Kota Bekasi sudah menghadapi beragam
persoalan seperti kota besar. Salah satunya adalah persoalan pertumbuhan
penduduk.
Hal
itu adalah konsekuensi, yang ditanggung Kota Bekasi (dan Kabupaten
Bekasi), sejak Bekasi dikembangkan menjadi penyangga Jakarta berdasarkan
Instruksi Presiden Nomor 13 Tahun 1976.
Inpres
tersebut menempatkan Bekasi sebagai kota satelit Jakarta dan menjadi
bagian kawasan pengembangan Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi (Jabotabek).
Dengan kehadiran pabrik dan kawasan industri, Kota Bekasi berkembang
sebagai kota berpenduduk padat.
”Ketika
baru dikembangkan sebagai kota mulai tahun 1996, penduduk Kota Bekasi
saat itu baru sekitar 750.000 jiwa,” kata Sekretaris Daerah Kota Bekasi
Tjandra Utama Effendi, Jumat (6/3). ”Saat ini penduduk Kota Bekasi
mencapai 2,2 juta jiwa dan sebagian besar ada penduduk komuter yang pada
siang hari bekerja di Jakarta,” ujarnya.
Masalah kota
Laju
pertambahan penduduk Kota Bekasi, menurut Sensus Penduduk 2000,
mencapai 3,49 persen. Pertambahan penduduk Kota Bekasi lebih besar
disebabkan migrasi. Penyebab tingginya migrasi tidak lain adalah
berkembangnya Kota Bekasi menjadi pusat ekonomi dan pusat bisnis.
”Ini
disebabkan letak Kota Bekasi yang berada di jalur ekonomi yang dinamis,
yakni antara Jakarta dan Jawa Barat,” kata pengamat dari Universitas
Islam 45 Bekasi, Harun Al Rasyid. ”Kota Bekasi berkembang pesat karena
terimbas perkembangan Jakarta yang sudah mencapai titik jenuh,” ujar
Harun.
Di pihak lain, tingginya
laju pertambahan penduduk Kota Bekasi menimbulkan beragam persoalan bagi
Kota Bekasi. Mulai dari masalah kemiskinan, pengangguran, kriminalitas,
sampai transportasi, pendidikan dan kesehatan, serta interaksi sosial
masyarakat.
Sampai akhir 2007,
jumlah keluarga prasejahtera di Kota Bekasi tercatat sebanyak 20.448
keluarga, atau bertambah 1.700 keluarga dibandingkan dengan tahun 2006.
Begitu
pula persoalan pengangguran. Hingga tahun 2006 masih terdapat 187.944
orang di Kota Bekasi yang menganggur dan sebanyak 43.742 orang lainnya
sedang mencari kerja.
Persoalan
juga tampak pada maraknya kasus kriminalitas di wilayah Kota Bekasi.
Sosiolog dari Universitas Islam 45 Bekasi, Andi Sopandi, mengatakan,
Kota Bekasi mendapat sorotan kurang menguntungkan akibat tingginya kasus
kejahatan yang terjadi di wilayah ini. ”Terutama kasus narkotika,” kata
Andi. ”Hampir 90 persen penghuni LP Bekasi akibat kasus narkotika,”
ujarnya.
Dari catatan Kompas,
sampai Oktober 2008 terdapat 3.213 kasus kriminalitas, termasuk
kecelakaan dan pengaduan masyarakat, yang ditangani jajaran Kepolisian
Resor Metropolitan Bekasi. Padahal, selama 2007, jumlah kasus
kriminalitas yang ditangani Polres Metro Bekasi ”hanya” sebanyak 3.183
kasus.
Problem lain adalah
penyediaan sarana dan prasarana transportasi. Pemerintah Kota Bekasi
hingga sekarang masih berkutat dengan persoalan jalan berlubang atau
jalan rusak. Kerusakan di ruas Jalan Pekayon-Jatiasih-Pondok Gede sudah
bertahun-tahun belum tuntas ditangani.
Hal
lain yang juga menjadi persoalan kota adalah penggunaan lahan. Dari
sekitar 21.409 hektar luas wilayah Kota Bekasi, sebanyak 62 persennya
sudah dibangun menjadi kawasan niaga dan kawasan permukiman. Sementara
lahan yang tersisa sebagai ruang terbuka hijau hanya sekitar 14 persen.
”Kebijakan
tata ruang kota tidak mendukung perkembangan kapasitas masyarakat untuk
berperan dalam pembangunan daerah,” kata Andi. ”Lahan lebih banyak
dibangun untuk permukiman dan perkantoran serta kawasan niaga, sementara
ruang publik untuk tempat masyarakat berinteraksi masih diabaikan
keberadaannya,” ujarnya.
Kebijakan
Bertepatan
dengan peringatan hari jadi Kota Bekasi ke-12 hari ini, kepemimpinan
Mochtar Mohamad dan Rahmat Effendi masing-masing sebagai Wali Kota
Bekasi dan Wakil Wali Kota Bekasi persis berjalan satu tahun. Wajar
apabila banyak yang berharap pemimpin baru membawa perubahan.
Gebrakan
duet Mochtar-Rahmat yang dirasakan dampaknya adalah kebijakan pemberian
subsidi di sektor pendidikan dan pelayanan kesehatan. Kebijakan
tersebut merupakan implementasi visi Kota Bekasi terbaru, yakni Kota
Bekasi Cerdas, Sehat, dan Ihsan.
Pada
awal pemerintahannya, Mochtar menggratiskan biaya pendidikan di sekolah
dasar. Mulai 2009, kebijakan pembebasan biaya pendidikan diberlakukan
di sekolah menengah pertama. Tahun depan, kebijakan serupa diterapkan di
sekolah menengah atas.
Begitu
pula dalam urusan pelayanan kesehatan, sejak April 2008 Pemerintah Kota
Bekasi menghapus pelayanan kesehatan dasar di semua puskesmas.
Dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Bekasi 2009, Pemkot
Bekasi mendistribusikan 36,87 persen dari anggaran belanja untuk sektor
pendidikan, lebih dari 4,3 persen untuk kesehatan.
Kebijakan
penganggaran yang berorientasi pada sektor pendidikan dan kesehatan
itu, menurut Tjandra, tidak mengganggu rencana Pemkot untuk terus
membangun dan menyiapkan utilitas kota yang memadai. ”Dengan demikian,
Kota Bekasi mampu berkembang sebagai mitra sejajar dengan Jakarta, bukan
sekadar kota penyangga Ibu Kota (negara),” kata Tjandra.
SEMBER : http://nasional.kompas.com/read/2009/03/16/06484682/masalah.kepadatan.penduduk.menghadang (Senin, 16 Maret 2009)
STUDI KASUS
Selama
ini, masalah kepadartan penduduk boleh dikatakan masih kurang mendapat
perhatian dari masyarakat maupun tokoh masyarakat. Baik itu dari para
politisi, tokoh agama, pakar ekonomi maupun tokoh masyarakat lainnya.
Memang pada saat ini sebagian besar orang pada umumnya sudah tidak
berkeberatan lagi dengan program untuk mengontrol kelahiran, tetapi
sayangnya masih kurang sekali kesadaran untuk melaksanakannya dan
dianggap tidak penting. Padahal, kalau kita mau menyadari, sebenarnya
masalah kependudukan ini adalah masalah yang teramat penting, tidak
kalah pentingnya dengan berbagai macam masalah lainnya yang seringkali
kita perdebatkan dalam berbagai seminar dan diskusi, dan sebenarnya
berkaitan erat dengan masalah ekonomi, hukum dan norma agama.
Sebenarnya,
masalah kepadatan penduduk ini sudah bisa diatasi dengan baik bila saja
sejak dulu sudah ada upaya yang sungguh-sungguh dari pihak pemerintah
maupun tokoh-tokoh masyarakat untuk mengatasi masalah ini. Sayangnya,
hal itu dulu masih belum ada. Dulu masih banyak orang yang menentang
program KB (Keluarga Berencana). Kalau pun sudah ada yang menyetujuinya,
umumnya mereka masih enggan untuk melaksanakannya. Pada zaman Orde
Lama, dari pihak pemerintah pun tidak ada kesadaran akan masalah ini.
Pada saat itu jumlah penduduk Indonesia masih berkisar 100 juta jiwa dan
seandainya pada saat itu sudah ada upaya yang sungguh-sungguh tentunya
tidak perlu penduduk Indonesia meledak seperti sekarang ini.
Hingga
saat ini memang masih banyak orang yang menganggap bahwa teori yang
dikemukakan oleh Malthus sudah tidak berlaku lagi karena adanya berbagai
macam kemajuan pada bidang pertanian yang bisa melipatgandakan jumlah
makanan. Tetapi, mereka nampaknya melupakan bahwa kemajuan teknologi
bukanlah hanya pada bidang pertanian, tetapi juga pada bidang kesehatan
dan kedokteran. Jadi, tingkat kematian menurun dengan cukup drastis
sedangkan tingkat kelahiran tetap bertambah menurut primitive rate.
Maka semakin sesaklah bumi kita ini dan semakin sulitlah memenuhi
kebutuhan pangan karena tingkat pertumbuhan penduduk dunia yang sekitar
1,2 persen per tahun sedangkan lahan pertanian hanya bertambah 0.8
persen saja. Jumlah lahan ini pun semakin hari semakin berkurang saja
karena semakin meningkatnya kebutuhan akan perumahan.
Jadi,
prediksi Malthus, atau lengkapnya Thomas Robert Malthus (1766-1834),
dalam hal ini memang bisa dikatakan cukup tepat dan tetap berlaku hingga
saat ini. Dan teori Malthus tentang kependudukan yang ditulis dalam
esainya yang berjudul Essay on the Principle of Population ini juga
sebenarnya yang turut memberikan pengaruh yang sangat besar untuk
meyakinkan Darwin tentang terjadinya proses seleksi alam dalam evolusi
mahluk hidup. Malthus menyatakan bahwa tingkat pertumbuhan penduduk
adalah berdasarkan deret geometri (1, 4, 9, 16, ... dst.), sedangkan
jumlah makanan hanyalah bertambah menurut deret aritmetika (1, 2, 3, 4,
... dst.). Hal ini tentu pada akhirnya akan menimbulkan persaingan
mati-matian antar Homo sapiens untuk memperebutkan sumber makanan karena
berlebihnya jumlah penduduk.
Pada
zaman Orde Baru, masalah kependudukan ini memang sudah mulai dibenahi.
Keluarga Berencana (KB) dianjurkan di mana-mana dan di banyak tempat
mendapat sukses. Tetapi, karena masih sangat kurangnya kesadaran dari
masyarakat dan kurang intensifnya usaha yang dilakukan pemerintah, maka
di banyak tempat pula usaha ini mengalami kegagalan. Jumlah penduduk
masih terus bertambah dengan sangat pesatnya. Bila pada awal Orde Baru
masih berjumlah sekitar 100 juta jiwa, maka pada akhir Orde Baru sudah
berjumlah lebih dari 200 juta. Berlipat dua kali hanya dalam waktu 30
tahun saja. Suatu kecepatan pertumbuhan yang sulit dicari bandingannya
sepanjang sejarah umat manusia. Hal ini tentu pada akhirnya
mengakibatkan tekanan-tekanan yang luar biasa kepada lingkungan hidup
yang merupakan sumber dari kehidupan manusia dan seluruh mahluk hidup di
planet bumi ini. Dan patut pula diperhatikan bahwa dalam 30 tahun
terakhir ini, jumlah produk pertanian telah meningkat hingga dua kali
lipat, tetapi di banyak negara jumlah tersebut tetap tidak mencukupi.
Oleh
karena itu, pada masa sekarang dan juga masa mendatang masalah
kepadatan penduduk ini haruslah benar-benar bisa mendapat perhatian. Ini
adalah masalah yang benar-benar sangat serius. Dan pada saat ini
rasanya program KB ini sudah saatnya tidak lagi hanya sekedar
dianjurkan, tetapi diwajibkan.
Untuk
mengatasi masalah ini memang tidak cukup hanya dari pihak pemerintah
saja yang mengurusinya. Semua pihak yang menyadari pentingnya masalah
ini haruslah turut serta membantu membenahi masalah ini, baik itu dari
generasi tua yang sudah terlanjur tidak melaksanakannya.
Dengan
semakin banyaknya penduduk, maka hal ini menyebabkan tidak tersedianya
ruang yang cukup bagi semua orang untuk menyambung hidup. Di desa tanah
pertanian semakin menyempit karena harus dibagi-bagi dengan saudara yang
selalu bertambah jumlahnya. Dan akhirnya, ketika sampai kepada generasi
yang kesekian, ketika tanah sudah tak lagi mencukupi, orang di desa pun
pergi ke kota. Di kota mereka pun harus bersaing dengan penduduk asli
kota tersebut maupun orang dari berbagai wilayah lain yang juga berjubel
banyaknya. Jadi, semakin berjubel-jubel.
Selanjutnya,
patutlah kita sadari bahwa luas tanah yang ada sangatlah terbatas. Kita
misalkan saja bahwa di pulau Jawa penduduknya 100 juta jiwa. Kemudian
kita misalkan bahwa di Jawa maksimal dibangun lima ribu pabrik atau
perusahaan. Sekali lagi, ini jumlah maksimal, kecuali kalau diadakan
penggusuran sawah atau perumahan penduduk. Lalu masing-masing perusahaan
kita misalkan saja rata-rata mampu menampung lima ribu pegawai. Dan ini
jumlah yang termasuk ideal bila kita misalkan setiap orang pekerja
menghidupi rata-rata tiga orang anggota keluarga lainnya. Tetapi, bila
jumlah ini terus-menerus bertambah tanpa henti, katakanlah hingga
mencapai 200 juta jiwa (hanya di pulau Jawa saja) dalam beberapa tahun
mendatang, dan ini bukanlah jumlah yang mustahil mengingat kecepatan
pertumbuhan selama ini, maka jumlah yang ideal itu akan menjadi tidak
ideal lagi. Jumlah perusahaan tidak mungkin akan bisa bertambah karena
lahan sudah tidak tersedia lagi. Terlebih lagi, semakin banyak areal
persawahan yang telah berubah menjadi pemukiman penduduk. Dan
bertambahnya jumlah penduduk ini memang mau tidak mau akan menggusur
areal persawahan menjadi perumahan seperti yang bisa kita saksikan saat
ini di mana-mana. Dan dari tahun ke tahun kaum pengangguran ini semakin
banyak saja jumlahnya karena pertumbuhan angkatan kerja selalu melebihi
jumlah kesempatan kerja. Jadi, semakin lama semakin bertumpuk dan
bertumpuk.
Dan
salah satu cara memberantas kemiskinan dan pengangguran ini adalah
dengan kontrol kelahiran sebab dengan kontrol kelahiran kita akan bisa
dengan lebih mudah mengatasi kemiskinan karena akan terdapat ruang yang
cukup bagi semua orang untuk mencari makan. Dengan itu pula kita akan
bisa dengan lebih mudah mengatasi pengangguran karena kita memang akan
bisa lebih mudah pula mengupayakan agar pertumbuhan angkatan kerja
senantiasa sesuai dengan lapangan kerja yang tersedia. Akan tetapi, bila
kita memang benar-benar mau memikirkan dan berupaya mengatasi masalah
kependudukan dengan serius, maka secara perlahan-lahan angka kejahatan
dan juga berbagai macam problem sosial lainnya akan bisa ditekan
seminimal mungkin..
Oleh
karena itu, sekali lagi, kita memang harus berupaya memikirkan dan
mengatasi masalah kependudukan ini dengan sebaik-baiknya. Tanpa itu,
jangan harap kesejahteraan dan kemakmuran akan bisa terwujud meskipun
pemerintahan yang ada adalah pemerintahan yang benar-benar demokratis
dan jujur sebab dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk, maka akan
semakin sulit pula bagi kita untuk mengatasi kemiskinan, pengangguran
serta berbagai macam problem sosial lainnya.
Sumber :
- http://www.google.co.id/publicdata/explore?ds=d5bncppjof8f9_&met_y=sp_pop_grow&tdim=true&dl=id&hl=id&q=pertambahan+penduduk+dunia
- http://media.isnet.org/iptek/100/Malthus.html
- http://h0404055.wordpress.com/2010/04/02/masalah-kependudukan-pasca-orde-baru/
0 komentar:
Posting Komentar