KENAKALAN REMAJA SEBAGAI PENGARUH LINGKUNGAN SOSIAL
Perubahan
sosial dan budaya yang semakin kompleks dan dinamis merupakan ciri perkembangan
masyarakat akhir-akhir ini. Akibat perubahan yang relatif cepat tersebut adalah
adanya perubahan konsep tingkah laku dan perbuatan. Perubahan konsep tingkah
laku dan perbuatan ini pun dampaknya terjadi pada remaja, sehingga mereka
kelihatan lebih radikal dan agresif.
Kejahatan
adalah fenomena sosial yang timbul dan berkembang dalam masyarakat sehingga
kejahatan yang pada hakekatnya suatu budaya manusia (as old as man kind itself)
sebagai akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, maka
kejahatan berkembang semodern budaya manusia itu sendiri (as modern as man kind
itself). Dengan demikian dapat ditarik suatu pendapat yang fundamental, yaitu
bahwa kejahatan akan senantiasa berkembang sejalan dengan perkembangan
masyarakat itu sendiri.
Kejahatan
yang dilakukan remaja akhir-akhir ini tentu sangat memprihatinkan. Secara
Intens, jenis kejahatan yang dilakukan oleh remaja ditunjukkan Crime Index
yaitu: pencurian dengan pemberatan, pencurian dengan kekerasan, pencurian
kendaraan bermotor, penipuan, penganiayaan berat, penyalahgunaan narkotika dan
obat berbahaya, serta kejahatan susila. Jenis kejahatan remaja tersebut
memerlukan evaluasi kebijakan penaggulangan yang selama ini ditempuh.
Berbagai
upaya penangggulangan telah banyak dilakukan, tetapi hanya menyangkut tindakan
kepolisian, bukan pada perbaikan kondisi atau sebab-sebab yang menimbulkan
kejahatan itu sendiri. Jadi kebijakan yang diambil hanya kebijakan yang
sebagian saja tidak menyentuh kepada akar permasalahan yang menimbulkan
kejahatan. Langkah-langkah yang telah dilakukan oleh polisi dengan melakukan
Operasi Penyakit Masyarakat (Pekat) yang merupakan operasi rutin yang
ditingkatkan kwantitas maupun kualitasnya maupun Operasi Khusus Kepolisian
Kendali Pusat yang dalam pelaksanaannya dalam rangka penaggulangan kejahatan
yang dilakukan oleh pelajar dan mahasiswa belum mampu menekan atau mengurangi
kejahatan.
Berangkat
dari pandangan serta pengkualifikasian kejahatan yang dilakukan oleh pelajar
dan mahasiswa, maka kebijakan penanggulangan kejahatan yang dilakukan juga
menggunakan cara-cara yang diluar prosedural formal peradilan. Maksudnya adalah
terhadap kejahatan yang dilakukan oleh pelajar dan mahasiswa ini penyelesaian
senantiasa mempertimbangkan berbagai aspek, baik ditinjau dari aspek kepastian
hukum, kepentingan hukum dan kepentingan pelaku kejahatan.
Berbicara
mengenai pencegahan dan penanggulangan kejahatan (PPK) utamanya bagi kepolisian
tentunya bukan hal yang baru bagi praktisi, bahkan sudah merupakan pekerjaan
rutin sehari-hari.
Pengertian
secara etimologis telah mengalami pergeseran, akan tetapi hanya menyangkut
aktivitasnya, yakni: istilah kejahatan (Delinquency) menjadi kenakalan. Dalam
perkembangan selanjutnya pengertian subyek/pelakunyapun mengalami pergeseran.
Ada beberapa pakar yang ahli dalam “Juvenile Deliquency” memberi definisi agak
berbeda dengan definisi yaang telah disebutkan di atas.
Seorang
psikolog, Bimo Walgito merumuskan arti selengkapnya dari “Juvenile Deliquency”
yakni: Tiap perbuatan, jika perbuatan tersebut dilakukan oleh orang dewasa,
maka perbuatan itu merupakan suatu kejahatan, jadi merupakan perbuatan yang
melawan hukum, yang dilakukan oleh anak, khususnya anak remaja.
Sedangkan
Fuad Hasan merumuskan definisi Deliquency adalah perbuatan anti sosial yang
dilakukan oleh anak remaja yang bilamana dilakukan orang dewasa
dikualifikasikan sebagai tindak kejahatan.
Perumusan
arti “Juvenile Deliquency” oleh Fuad Hasan dan Bimo Walgito nampak adanya
pergeseran mengenai kualitas anak menjadi remaja/anak remaja. Bertitik tolak
pada konsepsi dasar inilah, maka “Juvenile Deliquency” pada giliranya mendapat
pengertian “Kenakalan Remaja”. Dalam pengertian yang luas tentang kenakalan
remaja ialah: perbuatan/kejahatan/pelanggaran yang dilakukan oleh anak remaja
bersifat melawan hukum hukum, anti sosial, anti susila dan menyalahi
norma-norma agama.
KONTROL SOSIAL
Teori
kontrol atau sering juga disebut teori kontrol sosial berangkat dari asumsi
atau anggapan bahwa individu di masyarakat mempunyai kecenderungan yang sama
kemungkinannya, menjadi “baik” atau “jahat”. Baik jahatnya seseorang sepenuhnya
tergantung pada masyarakat. Ia menjadi baik kalau saja masyarakatnya membuatnya
demikian, dan menjadi jahat apabila masyarakatnya membuatnya demikian.
Pertanyaan
dasar yang dilontarkan paham ini berkaitan dengan unsur-unsur pencegah yang
mampu menangkal timbulnya perilaku delinkuen di kalangan anggota masyarakat,
utamanya para anak dan remaja, yaitu: mengapa kita patuh dan taat pada
norma-norma masyarakat? Atau mengapa kita tidak melakukan penyimpangan?
pertanyaan dasar itu mencerminkan suatu pemikiran bahwa penyimpangan bahwa
penyimpangan bukan merupakan problematik yang dipandang sebagai persoalan pokok
adalah ketaatan atau kepatuhan pada norma-norma kemasyarakatan dengan demikian
menurut paham ini sesuatu perlu dicari kejelasannya ialah ketaatan pada norma,
dan faktor-faktor yang menyebabkan seseorang patuh atau taat pada norma-norma
kemasyarakatan. Pada dasarnya upaya menjelaskan perilaku “tidak patuh norma”.
Oleh
karena itu, tidak mengherankan apabila penganut paham ini berpendapat bahwa
ikatan sosial (sosial bound) seseorang dengan masyarakatnya dipandang sebagai
faktor pencegah timbulnya perilaku penyimpangan. Seseorang yang lemah atau
terputus ikatan sosialnya dengan masyarakat, “Bebas” melakukan penyimpangan. Seseorang
dapat melemah atau terputus ikatan sosial dengan masyarakatnya, manakala di
masyarakat itu telah terjadi pemerosotan fungsi lembaga kontrol sosial
informasi di sini ialah sarana-sarana kontrol sosial non hukum positif atau
dalam konteks masyarakat kita sarana-sarana tersebut dapat diidentikan dengan
lembaga adat, suatu sistem kontrol sosial yang tidak tertulis namun memperoleh
pengakuan keabsahan keberlakuannya di masyarakat. Dengan demikian berarti bahwa
manakala di suatu masyarakat, di mana kondisi lingkungannya tidak menunjang
berfungsinya dengan baik lembaga kontrol sosial tersebut banyak akan
mengakibatkan melemah atau terputusnya; dan pada gilirannya akan memberi
kebebasan kepada mereka untuk berperilaku menyimpang.
KEJAHATAN
ANAK
Pengertian
tentang kejahatan anak yang dalam berbagai literatur dikenal dengan istilah
“juvenile deliquency” memiliki keberagaman. Istilah yang sering terdengar dan
lazim dipergunakan dalam media massa adalah kenakalan remaja atau sering juga
dipergunakan istilah kejahatan anak. Istilah kejahatan anak di rasakan terlalu
tajam. Sementara istilah kenakalan remaja sering di salahtafsirkan dengan
kenakalan yang tertuangkan dalam pasal 489 KUHP. Untuk menghindari pemaknaan
yang kurang tepat atau berlebihan mak dipakai istilah Juvenile Delinquency atau
kejahatan anak.
Sementara
pengertian tentang anak itu sendiri juga terdapat beberapa pemahaman yang
berbeda. Pengertian anak dalam kaitannya dengan prilaku delinkuensi anak
biasanya didasarkan atas tingkatan umur. Namun demikian adapula yang
mendasarkan pada pendekatan psikososial.
Pengertian
anak di sini termasuk juga remaja, karena dalam konteks hukum peristilahan
remaja kurang lazim dipergunakan. Dalam perundang-undangan biasanya di sebutkan
dengan istilah anak, belum dewasa (minder jarig), belum cukup umur dan
sebagainya.
Pendekatan
yang didasarkan atas umur/usia terdapat berbagai variasi. Di Amerika Serikat,
27 negara bagian menentukan batas umur 8-18 th, sementara 6 negara bagian
menentukan batas umur 8-17 th, ada pula bagian lain yang menentukan batas umur
8-16 tahun. Di Inggris ditentukan batas umur antara 12-16 th dan di Australia
ditentukan 8-16 th. Di Belanda di tentukan antara umur 12-18 th. Di negara-negara
Asia antara lain srilangka menentukan batas umur antar 8-16 tahun. Di Jepang
antara 14-20 th.sedangkan negara-negara Asean antar lain Philipina menentukan
7-16 tahun. Di Malaysia antara 7-18 th. Singapura menentukan batas antara 7-16
th. Sedangkan di Indonesia sendiri berdasarkan ketentuan UU No. 3 tahun 1997
tentang Pengadilan Anak , anak ditetatpkan pada usia 8-18 th.
Sementara
batasan anak yang didasarkan aspek psikososial, klasifikasi perkembangan anak
hingga dewasa di kaitkan dengan usia dan kecenderungan kondisi kejiwaanya.
Paham
Kenakalan Remaja dalam arti luas meliputi perbuatan-perbuatan anak remaja yang
bertentangan dengan kaedah-kaedah hukum tertulis baik yang terdapat dalam kitab
Undang-Undang Hukum Pidana maupun perundang-undangan Pidana diluar KUH Pidana.
Dapat pula terjadi perbuatan anak remaja tersebut bersifat anti sosial,
perbuatan yang menimbulkan keresahan masyarakat pada umumnya, akan tetapi tidak
tergolong delik pidana umum maupun pidana khusus. Ada pula perbuatan anak
remaja yang bersifat anti susila, yakni durhaka kepada kedua orang tua,
sesaudara saling bermusuhan. Di samping itu dapat dikatakan kenakalan remaja,
jika perbuatan tersebut bertentangan dengan norma-norma agama yang dianutnya
misalnya remaja muslim enggan berpuasa, padahal sudah tamyis bahkan sudah
baligh, remaja Kristen/Katholik enggan melakukan sembahyang/kebaktian. Demikian
pula yang terjadi pada remaja Hindu dan Budha.
Paradigma
kenakalan remaja lebih banyak luas cakupannya dan lebih dalam bobot isinya;
kenakalan remaja tersebut meliputi perbuatan-perbuatan yang sering menimbulkan
keresahan dilingkungan masyarakat, sekolah maupun keluarga, contoh sangat
simple dalam hal ini antara lain; pencurian oleh remaja, perkelahian dikalangan
peserta didik yang kerap kali berkembang menjadi perkelahian antar sekolah,
menganggu wanita dijalan yang pelakunya anak remaja, sikap anak yang memusuhi
orang tua dan sanak saudara atau perbuatan-perbuatan lain yang tercela seperti
menghisap ganja, mengedarkan pornografi dan corat-coret tembok pagar yang tidak
pada tempatnya.
Dengan
demikian nampak jelas bahwa apabila seorang anak yang masih berada dalam
fase-fase usia remaja kemudian melakukan pelanggaran terhadap norma hukum,
norma sosial, norma susila dan norma-norma agama, maka perbuatan anak tersebut
digolongkan kenakalan remaja (Juvenile Deliquency).
Secara
global delinquent yang dilakukan oleh anak remaja dapat berupa berupa
delinquent sosiologis dan delinquent individual; pembagian ini berdasarkan
sikap dan corak perbuatan. Dapat di pandang sebagai delinquent sosiologis
apabila anak memusuhi seluruh konteks kemasyarakatan kecuali konteks
masyarakatnya sendiri. Dalam kondisi tersebut kebanyakan anak tidak merasa
bersalah bila merugikan orang lain, asal bukan dari kelompoknya sendiri, atau
merasa tidak berdosa walau mencuri hak milik orang lain asal bukan kelompoknya
sendiri yang menderita kerugian. Sedangkan dalam delinquent individual, anak
tersebut memusuhi orang baik tetangga, kawan dan sekolah atau sanak saudara
bahkan termasuk kedua orang tuanya sendiri. Biasanya hubungan dengan orang tua
semakin memburuk justru karena bertambahanya usia. Pada garis besarnya dari
kedua bentuk delinquent ternyata delinquent sosiologislah yang sering melakukan
pelanggaran didalam masyarakat. Hal ini bukan berarti delinquent individual
sama sekali tidak menimbulkan keresahan didalam masyarakat.
Kedua
bentuk delinquent sama-sama merugikan dan meresahkan masyarakat. Delinquent
sosiologis dan individual bukan merupakan dua hal yang antagonis, akan tetapi
keduanya hanya memiliki batas secara gradasi saja. Jika ditinjau dari
bermulanya, dapat terjadi keduanya saling menunjang dan memperkembangkan. Dalam
hal ini dapat kita jumpai seorang anak menjadi delinquent bermula dari keadaan
intern dan kemudian dikembangkan dan ditunjang oleh pergaulan, akan tetapi
tidak jarang pula seorang anak menjadi delinquent justru karena meniru
kawan-kawan sebayanya kemudian di dukung oleh berkembang didalam keluarga.
Seorang anak yang hidup ditengah-tengah masyarakat yng sholeh dalam bergaul
dengan kawan-kawan sebaya yang baik dapat menjadi delinquent karena pengaruh
kehidupan keluarga, misalnya; karena broken home atau quasi broken home.
Demikian pula seorang anak dibesarkan didalam lingkungan keluarga yang sholeh
dapat menjadi delinquent karena pengaruh kehidupan masyarakat sekitar atau
pengaruh teman-teman sepermainannya, akan tetapi probabilitas sangat rendah.
Agar
dapat memberikan penilaian apakah suatu perbuatan termasuk delinquent atau
tidak, maka hendaklah diperhatikan faktor hukum pidana yang berlaku sebagai
hukum positif serta faktor lingkungan yang menjadi ajang hidup anak remaja.
Pertama-tama, hukum pidanalah yang merumuskan bahwa suatu perbuatan merupakan
suatu pelanggaran dan kejahatan. Jika penilaian delinquent berdasarkan faktor
hukum pidana, maka konsekuensinya disetiap negara akan berbeda penilaiannya.
Penilaian kedua dalam menentukan delinquentadalah norma atau kaidah-kaidah yang
hidup dan bertumbuh dalam masyarakat. Dalam penilaian kedua akan terjadi perbedaan
penilaian antara masyarakat yang satu dengan yang lain. Misalnya saja antara
masyarakat desa dan masyarakat kota. Kedua masyarakat tersebut memiliki
norma-norma yang agak berbeda. Adat kebiasaan dan norma-norma kemasyarakatan
yang hidup dan bertumbuh di desa agak berbeda dengan adat kebiasaan yang
berkembnag di kota secara gradasi.
Di
atas telah dikupas secara rinci dalam segala aspek tentang “Juvenile
Deliquency” yang dalam konteks ini disebut “Kenakalan Remaja”. Penentu utama
dalam “Juvenile Deliquency” yakni hukum pidana. dalam kaitan ini pembatasan
Anglo Saxon dapat diterima, bahwa: Juvenile Deliquency berarti perbuatan dan
tingkah laku yang merupakan perbuatan perkosaan terhadap norma hukum pidana dan
pelangaran-pelangaran terhadap kesusilaan yang dilakukan oleh para Juvenile
Deliquency. Juvenile Deliquency itu adalah offenders yang terdiri dari “anak”
(berumur dibawah 21 tahun: pubertas), yang termasuk yurisdiksi pengadilan
anak/juvenile court.
Pada
prinsipnya Juvenile Deliquency adalah kejahatan dan pelanggaran pada orang
dewasa, akan tetapi menjadi “Juvenile Deliquency” oleh karena pelakunya adalah
: anak/kaum remaja; mereka yang belum mencapai umur dewasa secara yuridis
formal. Bertitik tolak pada konsep dasar inilah maka wujud “Juvenile Deliquency”
dapat dipaparkan sebagai berikut : pembunuhan dan penganiayaan (tergolong
kejahatan-kejahatan kekerasan); pencurian :pengelapan; penipuan; gelandangan
dan lain sebagainya.
Berbagai
penelitian yang dilakukan bahwa sebagian besar remaja delinquent berasal
dari keluarga yang sudah tidak utuh strukturnya. Keluarga menjadi kelompok
sosial yang utama tempat anak belajar menjadi manusia sosial. Rumah tangga
menjadi tempat pertama dari perkembangan segi-segi sosialnya di dalam interaksi
sosial dengan orang tuanya yang wajar, sehingga apabila hubungan dengan orang
tua kurang baik, maka besar kemungkinannanya bahwa interaksi sosialnya pun
berlangsung kurang baik.
Karena
keremajaan itu selalu maju untuk lebih banyak melakukan hubungan sosial dengan
teman sebaya sehingga hubungan diantara mereka semakin kuat sebagai upaya untuk
mendapatkan pengakuan dari kelompoknya tersebut. Pengaruh dari norma kelompok
sosial tersebut semakin lebih kuat dari norma keluarga, demikian pula pengaruh
pada perilaku pelanggaran hukum tanpa peduli pada perasaan diri sendiri.
Sumber :
- Barda Nawawi Arif, “Masalah Penegakan Hukum Kebijakan menanggulangi Kejahatan”, Ceramah Diklat Aparat penegak Hukum, Depkumdang di Pusdiklat Cinere Jakarta 2000.
- Bimo Walgito, “Kenakalan Anak (Juvenile Deliquency)”, Andi Offset, Yogyakarta, 1998.
- Elizabeth Hurlock, “Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan”, Erlangga, Jakarta, 1997.
- Gerungan, “Psikologi Sosial”, Refika Aditama, Bandung, 2000.
- Harton, B. Paul, “Sosiologi”, Terjemahan Aminudin Ram dan Tita Sobari. PT. Raja Grafindo, Jakarta, 1993.
- Kusumah, Drs. Mulyana W. “Kenakalan Remaja Dalam Perspektif Kriminologi”. Prisma No. 9, 1985.
- Rahardjo, Satjipto, “Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis“, Sinar Baru, Bandung 1983.
- Simanjuntak, “Latar Belakang Kenakalan Anak (Etiologi Juvenile Deliquency)”, Gunung Agung, Jakarta, 1995.
- Sri Widoyati Soekito, dalam Paulus Hadisuprapto, “Juvenile Delinquency, Pemahaman dan penanggulangannya”, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.
- Supriyoko, “Unsur Kriminal Dalam Perkelahian Pelajar”, Kedaulatan Rakyat, 21 Desember 2006.
- Sudarsono, “Kenakalan Remaja Prevensi, Rehabilitasi, dan Resosialisasi”, Rineka Cipta, Jakarta, 1990.
- Vembriarto, “Sosiologi Pendidikan”, Andi Offset, Yogyakarta, 1990.
0 komentar:
Posting Komentar